BAG of Tea
Uap hangat oolong tea melayang dari cangkir bermotif Union Jack. Terasa hangat ketika aku menghirupnya. Kehangatan tersebut dapat menghilangkan sejenak pikiran berkecamuk yang baru aku alami. Ya, sungguh perbuatan bodoh. Aku kehilangan sebuah tas kecil berharga di tengah sebuah negara yang baru tiga hari aku datangi ini!
Begitu
mengingatnya, wajahku langsung menjadi gusar. Monumen unik dan megah bertuliskan TITANIC yang terlihat sekitar
ratusan meter di depanku,
tidak mampu mengembalikan semangatku yang kandas. Bagaimana bisa, tas selempang
kecil yang selalu menemaniku dari kuliah hingga bekerja ini bisa lenyap.
Rasanya tak sempurna jika tak ditemaninya.
Memang, tidak ada hal penting yang ada dalam tas kecil itu.
Mungkin sebuah pena, catatan agenda, headset, tiket transportasi bekas dan sebungkus makanan khusus.
Walau bau tasku membuat dokter
bedah menjadi mual, tetapi sejarah yang mengiringi tasku itu yang sangat besar
nilainya.
Ada satu
hal yang membawaku ke sini.
Bukan tempat terkenal seperti Giant
Causeway, tetapi karena bodhrán.
Ya, tentu Anda semua tahu kan?
Err…
Atau
mungkin tidak ada yang tahu. Aku
suka dengan musik-musik celtic sejak
SMA. Musik-musik dengan
alunan tin whistle, biola, tap dance, bagpipe dan tentunya sebuah perkusi seperti rebana yang bernama bodhrán tersebut. Aku yakin Belfast
pasti memiliki bodhrán otentik yang
aku inginkan.
Aku sudah
izin dengan Kak Ferry kalau aku hanya sehari saja di Belfast. Beliau tentunya
ragu, tetapi karena aku yakin dengan kemampuanku menggunakan teknologi yang ada
di smartphone (dan sebuah jargon
“malu bertanya, mbah gugel ketawa”), akhirnya
beliau mengizinkanku pergi ke sini sendirian. Dan sekarang akhirnya aku jauh-jauh
ke sini kecopetan. “Mampus kau, kisanak!”
Malu
rasanya kalau harus melapor Kak Ferry. Entah kenapa, kehilangan tas ini serasa
kehilangan arah. Atau aku telepon si Dinda atau Rani ya, pemenang lomba yang juga
dapat hadiah jalan-jalan ke Inggris sepertiku ini? Ah, mereka pasti
menertawakanku dengan ucapan, “Classy
banget, Kak, kecopetan di Inggris. Harus masuk trending topic #kecopetandiUK nih. Hahaha”. Lagipula, wibawaku
harus kujaga. Siapa tahu salah satu dari mereka jodohku.
Setelah
membayar dan meninggalkan kafe “Creativity is Great” tersebut, aku
pun mulai menyusuri jalan. Samar-samar aku melihat puncak tinggi Albert Clock. Aku ambil dan buka smartphone-ku yang ada di saku. Layar
pun menyala dan wallpaper MUSE menyembul. Aku jadi ingat kalau
harusnya pertama mampir ke Wembley
Stadium. Di tempat itulah konser MUSE
yang menurutku paling gila. Sambil menggumam dan mengingatnya di kepala, aku
memotret beberapa sudut kota yang bisa aku unggah di Instagram.
Tiba-tiba
aku baru tersadar kalau sepertinya ada yang terjatuh ketika aku mengambil smartphone dari kantong. Apakah mungkin
selembar poundsterling yang jatuh? Bukan.
Ternyata sebuah gulungan kertas. Aku tak ingat menyimpan contekan di saku sejak
lulus kuliah 2 tahun lalu?
Aku ambil
dan buka kertas gulungan tersebut. Ternyata itu adalah sebuah gulungan kertas
yang berisi tulisan dan gambar. Ada gambar semacam tas dan tulisan “Jig at Iceberg”.
Sejenak aku
berpikir. Aku jadi sadar.
“Sial!
Tasku dicuri!” Aku campakkan kertas tersebut dengan kesal.
Sambil
mengerutkan dahi, aku berpikir, mengapa bisa ada maling kelas teri di Inggris?
Sejenak
kemudian, aku buru-buru mengambil kertas tersebut. Sepertinya pencuri itu mau
bermain-main denganku. Ini adalah sebuah petunjuk.
Jig? Tentu aku tahu jig. Kadang begitu dengar jig
saja, aku langsung ingin menari dan mengajak Arina Ephipania untuk duet tap dance denganku. Lalu apa itu Iceberg? Bukankah itu tokoh di komik One Piece saat Luffy dkk di Water Seven?
Instingku
langsung bekerja. Sel-sel di otakku berteriak dan memberi saran, “Bro, panggil
Kak Ferry, Dinda atau Rani. Gawat, gan!” Sel otakku yang lain berujar, “Kak,
lapor polisi saja. Sekali-kali main detektif di negeri orang.” Sementara itu,
sel otak di tengah yang berjiwa Malang memberi saran, “Bos, umak kudu tilpun konco lawas koyok, Budi,
Angga utowo Galih sing kuliah Master ndek kene (Bos, kamu harus telepon teman lamamu seperti, Budi, Angga
atau Galih yang lagi kuliah Master di sini).” Dalam hati aku berteriak, “Stop!
Kau mencuri tasku. Tas kesayanganku”.
Ah,
persetan dengan tas itu. Peduli amat dengan tas tersebut. Aku harus dapat
sebuah bodhrán dan segera balik ke
Manchester. Aku tidak ingin masalah ini merusak liburanku. Aku melangkah menuju
kios informasi dekat tempatku minum teh tadi.
Samar-samar
aku melihat beberapa orang bermain musik di kafe. Satu hal terbersit di
pikiranku. Aku tersenyum.
Belfast
adalah kota perjuangan, jadi semangat juangku untuk memecahkan misteri ini membara.
Aku harus kembali bergabung dengan tasku seperti semangat Northern Ireland.
Aku
berjalan dengan langkah tegap. Tanganku terkepal ketika berjalan melewati kios
informasi. Pukulanku harus membuat telak sang pencuri, seperti Titanic yang
menghantam iceburg. Aku sudah tahu
siapa dia.
Tak jauh di
depanku, seorang pemain bodhrán
meletakkan bodhrán-nya dan mulai
menari di atas pelataran kayu kedai. Berdiri dengan megah jauh di belakangnya
sebuah monument kebanggan hasil karya masyarakat Belfast, Titanic.
Aku hampiri
sebuah meja kafe di ujung. Ada seseorang dengan topi fedora yang sangat aku
kenal sedang duduk membelakangiku.
“Budi!
Beraninya kau!” seruku sambil memukul pria itu. Pria tersebut terkejut tetapi
langsung menoleh dan tertawa terbahak-bahak. Beberapa pengunjung melirik
keributan mereka.
“Bro, itulah gunanya GPS-mu masih tetap aktif.
Lucu melihatmu melongo kagum di ferry sampai tak sadar jika dicopet. Kami sudah
mengikutimu dari Stranraer.”
“Kami?”
tanyaku. Aku kesal bercampur bahagia bisa bertemu Budi di sini. Tak lama
kemudian Angga dan Galih datang dari kejauhan sambil melambaikan tangan. Mereka
sepertinya baru berfoto di depan monumen. Mereka masih tetap narsis dari zaman
Fir’aun belum sunat.
“Kenapa
kamu tak bilang-bilang kalau mau ke sini?” tanya Budi.
“Aku
sebenarnya ingin buat kejutan. Rencanaku kita ketemu di Wembley lusa depan.”
“Hanya
ketemu saja? Pahit, ah.”
“Tidak lah.
Mana tasku? Buka isinya,” seruku sambil mengatupkan tanganku. Aku tersenyum.
Budi
membuka tasku, dan menemukan barang rahasia di tasku.
“Hore! Kau bawa
jenang ini dari Malang? Teman-teman, jenang nih!” Budi terlihat bahagia
menemukan kue favoritnya yang berbentuk cokelat gelap itu sambil
melambai-lambai ke Angga dan Galih. Mereka bertiga terlihat kalap begitu
melihat Budi membawa jenang.
“Nah, ini
kejutan buatmu,” Budi menyodorkan sebuah kotak bundar hitam yang sudah bisa
ditebak olehku.
“Bodhrán! Koq kamu tahu aku mencari ini?”
seruku dengan mata berbinar-binar.
“Bagaimana
tak tahu, kalau kamu selalu curhat segala hal di media sosial!”
Well played, friend!
Kalian memang BAG (Budi, Angga, Galih) of
Tea
---------------------------------------
Cerpen ini
ditulis untuk kompetisi Creativity is Great oleh Fantasious dan British Embassy
---------------------------------------
Tokoh
favorit di GoT: Tyrion Lannister
Alasan:
Beberapa tokoh di Game of Thrones mati karena idealisme yang kuat. Ia adalah
seorang idealis yang mampu menempatkan diri, sehingga keselamatannya masih
selalu terjaga (walau tak menjamin di kemudian hari dia bisa mati).
Keterbatasan fisiknya tidak membuatnya menjadi seseorang yang lemah, karena
kecerdasan yang dimiliki dapat menguatkannya bahkan untuk mempengaruhi orang
lain. Satu hal lagi, walau saya kurang suka dengan kelakuannya, dia punya hobi
yang bagus, yaitu membaca