Alhamdulillah, Sah!
Assalamualaykum wr. wb.
Setelah mengikuti acara rapat rekonsiliasi data kinerja di Titi Kuning, Medan, saya langsung terbang menuju Surabaya. Izin cuti idul adha yang saya sambung dengan cuti menikah telah saya kantongi. Alhamdulillah pak manajer dengan baik hati mengizinkan saya cuti selama tiga minggu untuk tidak menyentuh Ombilin. Bayangkan, tiga minggu saya tidak berkeliaran di Talawi dan merasakan santan yang berlinang-linang. Hehe.
Tidak lain tidak bukan, saya pulang selama itu untuk menikmati masa-masa terakhir saya sebagai bujangan dan menikmati masa-masa pertama saya sebagai pengantin baru. Alhamdulillah, pada tanggal 21 Oktober 2013 pukul 08:30 (mundur 1.5 jam dari jadwal official hehe) saya resmi menikahi seorang wanita idaman bernama Rosita Putri Rivanti. Alhamdulillah.
Suatu pengalaman yang cukup mendebarkan. Dengan persiapan yang cukup lama dan banyak hal yang harus diperhatikan, acara berlangsung lumayan lancar, walaupun ada masalah pada keterlambatan souvenir di antar ke tempat kami. Banyak pihak yang terlibat, banyak tempat yang ditempati dan banyak akomodasi yang digunakan.
Semua orang pada dasarnya memahami bahwa menikah (dalam Islam) itu intinya pada kegiatan ijab qabul. Ijab qabul merupakan suatu kegiatan dimana terjadinya pengucapan ijab dan qabul nikah yang terjadi antara wali nikah (ayah pengantin) perempuan dengan pengantin pria, disaksikan oleh dua saksi. Tetapi dengan adanya percampuran adat dan budaya, sehingga acara nikah tidak hanya pada ijab qabul saja.
Setiap daerah memiliki adat yang berbeda-beda dan unik-unik. Dari mulai pertemuan pertama antar kedua keluarga sebelum meminang (khitbah) hingga setelah dilakukan pernikahan, memiliki prosesi yang beragam. Kebetulan saya dan istri saya sama-sama orang Jawa, lebih tepatnya di Malang, Jawa Timur. Walaupun kami satu kecamatan dan beda kelurahan/desa, tetapi adat kami ternyata cukup berbeda juga.
Di tempat saya, acara pengucapan ijab qabul atau walimatul ursy, dihadiri oleh keluarga dan warga kampung (pria). Kemudian acara tersebut menggunakan sound system layaknya acara tahlilan rutin atau kenduri. Di tempat istri ternyata hanya dihadiri keluarga saja dan tidak menggunakan sound system. Tentunya hal ini cukup menguntungkan bagi saya. Kenapa? Karena level grogi saya akan dapat menurun. Alhasil, saya berhasil mengucapkan qabul satu kali saja dengan lancar (bahasa Indonesia) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Kemudian siangnya dilakukan temu manten yang prosesinya sama seperti di kampung saya. Setelah temu manten, kami dipajang di kursi pelaminan sampai malam. Hehe. Capek juga, tapi hati tetap bahagia. Memang resiko mengadakan acara pernikahan di rumah seperti itu, tidak seperti di gedung yang jamnya bisa kita batasi, sehingga pengantin tidak akan terlalu capek. Tetapi, dengan mengadakan acara di rumah, suasana kekeluargaan dan gotong royong lebih terasa kuat. Kadangkala, merepotkan tetangga dan keluarga itu lebih membahagiakan mereka daripada kita tidak melibatkan sama sekali.
Malam pun tiba, tinggal beberapa tetangga yang mau begadang duduk-duduk di kursi-kursi tamu sambil makan kacang dan ngobrol. Saya lihat istri saya capek sekali. Entah karena riasan yang terlihat berat atau karena dia nonstop acara dari kemarin. Oh iya, sehari sebelum hari H, ada acara di tempat istri saya. Nama acaranya adalah Manggulan. Acara ini bisa dibilang semacam pra acara untuk nikahan besok. Acara ini dihadiri seluruh saudara istri. Tidak ada kegiatan khusus. Hanya datang, mendoakan, ngobrol, membantu-bantu, makan dan temu kangen dengan saudara lain. Saya kemudian mengikuti istri saya ke kamar pengantin. Untuk apa? Untuk menemaninya istirahat. Jujur, malam pertama itu itu baiknya digunakan untuk beristirahat kalau acaranya benar-benar menguras tenaga. Tetapi kalau tidak capek kedua-duanya, biarkan naluri yang bekerja. Hehe.
Wassalamualykum wr. wb.